Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan kegiatan pendampingan di SMAN 1 Wonosari sebagai bagian dari program pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan ini dimulai setelah penandatanganan nota kesepahaman (MOU) pada 16 Juli 2025 dan berakhir pada 30 Oktober 2025, dengan tiga kali pertemuan intensif yang dirancang untuk mewujudkan pendidikan yang damai, adil, dan inklusif di lingkungan sekolah.

MOU SMAN 1 Wonosari dan MPRK UGM
Bertempat di Aula Arjuna, pendampingan ini diikuti oleh 30 guru SMAN 1 Wonosari dengan antusias. Pada pertemuan pertama, peserta diajak memahami konsep dasar perdamaian meliputi makna kekerasan dan jenisnya serta pentingnya penerapan nilai-nilai keadilan dan inklusivitas di sekolah. Pertemuan kedua pada 21 Agustus 2025 berfokus untuk melatih kepekaan sosial dan menanamkan nilai-nilai perdamaian. Pada pertemuan tersebut guru diajak melakukan observasi langsung guna mengidentifikasi persoalan kekerasan di sekitar sekolah, baik yang tampak secara nyata maupun yang hadir dalam bentuk kekerasan struktural dan kultural. Adapun pertemuan terakhir pada 30 Oktober 2025 difasilitasi oleh Dody Wibowo, S.I.P., M.A., Ph.D., dosen sekaligus pakar studi perdamaian dari program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM, yang mengajak peserta untuk merefleksikan keseluruhan proses pendampingan, kemudian mengidentifikasi pendidikan perdamaian yang sudah ada di sekolah.

Pendampingan Pertama 16 Juli 2025
“Kekerasan adalah hal-hal yang menghalangi seseorang untuk mengembangkan potensinya dan menjadi versi terbaiknya,” ujar fasilitator merangkum hasil refleksi. Ia juga mengajak peserta mengingat kembali bahwa identitas dan kuasa adalah faktor terjadinya kekerasan, baik kekerasan struktural maupun kekerasan kultural. Orang yang memiliki kuasa berpotensi menjadi pelaku kekerasan struktural dengan kebijakan atau sistem yang dibuat, dan jika kebijakan itu dinormalisasi oleh masyarakat maka akan terjadi kekerasan kultural.

Pendampingan kedua pada 21 Agustus 2025: mengidentifikasi persoalan kekerasan di lingkungan sekitar sekolah
Sebelum mengidentifikasi pendidikan perdamaian di sekolah, fasilitator menyampaikan bahwa tujuan pendidikan perdamaian adalah Keadilan Sosial melalui penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai perdamaian. Oleh sebab itu ia menegaskan bahwa tidak semua perbuatan baik adalah pendidikan perdamaian karena pendidikan perdamaian dari awalnya harus memiliki tujuan untuk keadilan sosial. Ia mencontohkan ada seorang bapak yang melakukan penanaman pohon di lahan yang tandus karena ingin mengenang kembali masa kecilnya. Tindakan bapak tersebut baik namun bukan merupakan pendidikan perdamaian karena ia tidak mengajak orang lain untuk turut serta menyadari kerusakan alam dan bersama-sama melakukan pembaruan demi keadilan sosial. Selanjutnya ia memberikan contoh kegiatan yang dapat dilakukan sebagai bentuk pendidikan perdamaian di sekolah, misalnya memberikan jam khusus untuk pelajaran pendidikan perdamaian, ekstrakurikuler pendidikan perdamaian, diintegrasikan ke dalam mata pelajaran, dan kegiatan lainnya.

Pendampingan terakhir 30 Oktober 2025
“SMAN 1 Wonosari sendiri juga sudah berkomitmen menciptakan lingkungan pendidikan yang damai dan bebas dari kekerasan,” ujar tim Kesiswaan SMAN 1 wonosari dalam diskusi identifikasi pendidikan perdamaian di sekolah. Ia menyampaikan bahwa terdapat Unit Kegiatan Kesiswaan (UKK) yang fokus pada masalah kekerasan khususnya perundungan dan mengupayakan perdamaian yakni UKK KOMPIDA (Komunitas Pencinta Perdamaian). Murid yang tergabung di dalam KOMPIDA diharapkan mampu membawa pengaruh baik dalam upaya terciptanya lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan. Dalam diskusi selanjutnya, peserta juga menyadari pentingnya mekanisme jika terjadi konflik antar murid dengan guru maupun guru dengan guru sehingga bisa mendapatkan penanganan yang tepat.
Selanjutnya kegiatan ditutup dengan masing-masing peserta menyampaikan refleksi dari proses pendampingan guru menjadi pendidik perdamaian. “Setelah mengikuti tiga kali pertemuan ini saya menyimpulkan bahwa apa yang saya pelajari selama ini (perdamaian dan kekerasan) adalah sesuatu yang kompleks,” ungkap Zahra Fauziah, S.Pd. saat menyampaikan refleksinya. Ungkapan tersebut membawa perenungan panjang bagi guru untuk terus mengupayakan perdamaian baik bagi dirinya, bagi murid, maupun lingkungan sekolah dan masyarakat luas. (st)
EN
ID
                    
                                            
							
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!